Femme Fatale dalam Budaya Populer Korea: Internalisasi Standar Kecantikan Perempuan
Oleh: Sri Dona Nurjanna
Femme Fatale dalam Budaya Populer Korea: Internalisasi Standar Kecantikan Perempuan
Oleh: Sri Dona Nurjanna
Dalam konteks memenangkan pertarungan ekonomi global, hubungan internasional tidak lagi terbatas pada pertukaran produk, baik berupa bahan mentah maupun hasil manufaktur. Dinamika global kini telah merambah ke ranah budaya sebagai strategi ekonomi politik global. Negara-negara pusat tidak hanya mendominasi pasar melalui teknologi dan modal, tetapi juga melalui standar kebudayaan yang dianggap lebih maju. Salah satunya adalah standarisasi kecantikan perempuan, yang secara halus menjadi instrumen hegemoni budaya dan ekonomi konsumtif.
Melalui industri media, hiburan, dan kosmetik global, negara-negara pusat berhasil menanamkan citra ideal perempuan berkulit cerah, bertubuh langsing, berwajah Eropa sebagai simbol kemajuan dan daya tarik. Akibatnya, negara-negara yang sering disebut sebagai negara kecil dan berkembang seringkali menjadi target pasar bagi produk-produk kecantikan impor dan mengikuti gaya hidup tren Barat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya digunakan sebagai instrumen kekuasaan ekonomi, di mana dominasi budaya berfungsi memperkuat ketimpangan global antara produsen dan konsumen. Seperti dikatakan, “Budaya tampak seperti cermin, tapi siapa yang memegangnya tahu betul arah pantulannya.”
Dalam memahami representasi femme fatale dalam budaya populer Korea, teori gender dan representasi dari Laura Mulvey (1975) sangat relevan. Mulvey memperkenalkan konsep Male Gaze, yaitu cara media menampilkan perempuan hanya sebagai objek pandangan laki-laki, di mana perempuan ditampilkan untuk memenuhi fantasi visual yang maskulin, bukan sebagai subjek yang bebas menentukan dirinya. Fenomena ini masih terlihat di media Korea yang sering menggambarkan perempuan kuat, tapi tetap harus cantik sesuai standar yang banyak dipercaya orang.
Teori femme fatale dapat memberikan dimensi tambahan dalam analisis ini. Femme fatale, dalam kajian budaya dan teori feminis, adalah sosok perempuan yang kuat, menggoda, cerdas, dan berbahaya dalam pesonanya. Ia menggunakan daya tarik dan kecantikan sebagai alat kekuasaan yang tidak hanya memikat secara seksual tetapi juga mengontrol dan memanipulasi. Dalam budaya populer, femme fatale tidak hanya menggambarkan keterbatasan perempuan sebagai objek, tetapi sekaligus menunjukkan kompleksitas perempuan sebagai agen aktif dengan strategi kekuasaan tersendiri.
Representasi femme fatale dalam drama Korea dan K-pop sering kali menampilkan perempuan yang kuat, cerdas, berkelas, dan penuh kuasa, namun tetap pakem dalam standar kecantikan dominan: kulit putih, tubuh langsing, wajah halus. Misalnya, tokoh utama perempuan dalam drama seperti The Glory, Mine, atau Eve memenuhi deskripsi ini, menggambarkan kesempurnaan visual sekaligus menampilkan perempuan yang penuh manipulasi dan kontrol dalam cerita, sehingga menimbulkan dualitas antara kekuatan dan pengekangan tentang standar kecantikan.
Dalam perspektif femme fatale, citra ini bisa dipahami sebagai cara perempuan memperkuat posisinya dalam struktur sosial dan ekonomi, tapi sekaligus terjebak dalam sistem patriarki dan kapitalisme yang mengatur tubuh dan penampilan mereka. Feminis seperti Joan Copjec dan Susan Bordo menekankan bagaimana femme fatale bukan hanya mitos tentang perempuan sebagai ancaman, tapi cerminan dari ambivalensi budaya terhadap kekuatan perempuan: dikagumi namun dikontrol secara ketat.
Citra femme fatale yang diagungkan melalui industri kosmetik, klinik kecantikan, dan fesyen ini menimbulkan pengalaman internalisasi yang kuat pada perempuan, di mana kulit cerah, wajah tirus, dan tubuh langsing menjadi “pencapaian” modern yang wajib diraih. Tekanan sosial ini mendorong peningkatan besar dalam konsumsi produk kecantikan dan layanan perawatan asal Korea, yang sekaligus memperkuat posisi ekonomi negara-negara pusat sebagai produsen budaya konsumtif.
Di satu sisi, citra femme fatale tampak menarik dan modern, memberi perempuan model identitas yang kuat dan berdaya, namun di sisi lain, citra ini sering membuat perempuan merasa harus tampil sempurna untuk memenuhi standar yang dibangun dan dikontrol oleh industri. Akhirnya, standar ini menciptakan paradoks di mana perempuan menjadi agen dan objek sekaligus dalam dinamika kekuasaan dan konsumsi global.
Pengayaan dengan teori femme fatale menambahkan lapisan kritis yang menegaskan bahwa representasi perempuan dalam budaya populer Korea bukan sekadar soal kecantikan, tetapi soal posisi perempuan sebagai subjek yang menggunakan dan sekaligus dikontrol oleh simbol-simbol kecantikan dalam skema kekuasaan global.