Korban Kabut Asap Perempuan dan Hak atas Lingkungan Sehat yang Terabaikan
Korban Kabut Asap Perempuan dan Hak atas Lingkungan Sehat yang Terabaikan
Palembang, 4 Juli 2025 — Penolakan Pengadilan Negeri Palembang terhadap gugatan belasan warga Sumatera Selatan dan Greenpeace Indonesia atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) bukan hanya masalah lingkungan dan hukum semata, melainkan juga persoalan serius terkait keadilan gender. Putusan niet ontvankelijke verklaard (NO) ini secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana perempuan sebagai kelompok rentan dalam bencana ekologis semakin terpinggirkan dalam upaya penegakan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dalam gugatan yang diajukan, sebagian penggugat adalah perempuan yang menghadapi dampak kabut asap secara langsung dan berlapis. Perempuan di Sumatera Selatan, khususnya ibu rumah tangga dan pekerja informal, mengalami beban ganda: selain harus menjaga kesehatan keluarga di tengah kabut asap yang berbahaya, mereka juga menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan hukum. Dampak kesehatan seperti gangguan pernapasan dan penyakit kronis lebih berat dirasakan oleh perempuan dan anak-anak, yang sering kali menjadi kelompok paling rentan dalam krisis lingkungan.
Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menegaskan, “Perempuan tidak hanya menjadi korban pasif, tetapi juga agen perubahan yang berjuang memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat. Namun, putusan PN Palembang ini mengabaikan suara dan perjuangan mereka, serta mengerdilkan hak perempuan atas keadilan ekologis.”
Putusan yang menolak gugatan tanpa mempertimbangkan secara mendalam fakta-fakta dan bukti yang diajukan, termasuk kesaksian perempuan yang terdampak, mencerminkan kegagalan sistem peradilan dalam mengakomodasi perspektif gender. Keadilan formal yang menitikberatkan pada prosedur dan teknis hukum mengesampingkan keadilan substantif yang seharusnya mengutamakan perlindungan hak-hak perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang paling terdampak.
Status Siaga Darurat Asap yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menandakan ancaman serius yang masih mengintai. Namun, tanpa pengakuan dan perlindungan khusus bagi kelompok rentan seperti perempuan, upaya mitigasi dan penanggulangan karhutla akan kurang efektif dan berkeadilan.
Tim kuasa hukum, yang dipimpin Ipan Widodo, menegaskan pentingnya memasukkan perspektif gender dalam proses hukum dan kebijakan lingkungan. “Perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan dan perlindungan hukum, karena mereka adalah korban sekaligus penggerak perubahan,” ujarnya.
Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2017, yang mengedepankan keadilan substantif, Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengevaluasi putusan ini dengan mempertimbangkan aspek keadilan gender. Mereka menuntut agar sistem peradilan lebih responsif terhadap dampak lingkungan yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki, serta memastikan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang sehat bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.
Kasus ini membuka mata bahwa perjuangan melawan bencana kabut asap bukan hanya soal ekologi, melainkan juga soal hak asasi manusia dan keadilan gender. Perlindungan lingkungan hidup yang sehat harus mengakomodasi kebutuhan dan suara perempuan sebagai kelompok yang paling terdampak dan sekaligus agen perubahan. Penolakan gugatan ini menjadi pengingat bahwa tanpa perspektif gender, upaya penegakan keadilan lingkungan akan selalu kurang sempurna dan tidak inklusif.