Popular Peasant Feminism


Palembang, owa.or.idPertemuan Pemuda tani Internasional La Via Campesina di Banten dari 29 Mei hingga 2 Juni 2023, dimana sebagai tuan rumah adalah Serikat Petani Indonesia (SPI) telah melahirkan deklarasi politik untuk berkomitmen meneruskan proposal kolektif dalam semangat solidaritas, internasionalisme, dan transformasi sistemik dalam dunia pertanian. Muncul diksi Popular Peasant Feminism dalam deklarasi tersebut.

Popular Peasant Feminism merupakan perspektif feminisme petani perempuan yang memperjuangkan emansipasi manusia yang memiliki identitas progresif. Basisnya didasarkan pada analisis realitas pedesaan di tingkat global yang mengalami kehancuran baik pada dimensi sosial maupun lingkungan, sehingga dibutuhkan ideologi gerakan petani perempuan yang bersifat global dan popular.

Petani Perempuan di Indonesia saat ini masih menghadapi budaya patriarkhi yang menghambat emansipasi mereka dalam mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam, disisi lain model hegemonik pembangunan pertanian dan pedesaan yang dimonopoli oleh kekuatan perusahaan transnasional juga turut meminggirkan posisi kaum perempuan dalam mewujudkan demokratisasi akses terhadap tanah, reforma agrarian, kedaulatan pangan dan platform kebijakan publik yang didedikasikan untuk memperkuat pertanian keluarga yang berbasis agroekologi.

Berpikir tentang agroekologi dan feminisme berarti berpikir tentang tradisi revolusioner, pembaharuan, dialog, dan praksis. Agroekologi adalah bagian dari penghidupan petani perempuani, yaitu pertanian yang lahir dari kearifan mengolah alam dan  tradisi gotong royong masa lalu sebelum berdirinya keangkuhan korporasi transnasional di pedesaan saat ini. Sistem pertanian ini muncul dari kebutuhan lokal, yang diamati dan diilhami oleh cara alam bekerja, pertanian yang awal mulanya ditemukan oleh perempuan dan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama.

Perkembangan agroekologi saat ini dibangun sebagai ilmu pengetahuan, gerakan, dan praktik, muncul dengan menantang secara langsung model yang menghancurkan kehidupan alam dan sosial, yang telah dipromosikan oleh Revolusi Hijau dan korporasi transnasional. Perempuan adalah orang pertama yang memahami betapa pentingnya cara baru yang diusulkan untuk mengatur kehidupan di pedesaan, karena ini menyangkut pengalaman langsung mereka seperti menyiapkan bibit, penanaman dan perawatan serta berperan penting pula saat masa panen.

Namun agroekologi tidak luput dari realitas relasi sosial yang dibangun oleh sistem kapitalis, patriarki, dan rasis. Realitas ini mengarah pada kontradiksi yang juga terwujud saat membangun agroekologi — seiring dengan tumbuh dan semakin bertambahnya beban kerja perempuan, tetapi tidak terlihat dalam partisipasi kerja keluarga, yang seringkali diekspresikan dalam penghargaan terhadap pekerjaan laki-laki saja. Dalam hal ini perempuan akan mengalami diskriminasi dan beban ganda, karena itu dibutuhkan Popular Feminism dalam mewujudkan agroekologi.

Upaya Transformasi sistem pertanian dari sistem konvensional yang eksploitatif yang merendahkan martabat manusia dan mendegradasikan lingkungan menuju pertanian yang berbasis ekologi dapat diwujudkan dengan mendorong lebih besar keterlibatan strategis petani perempuan dan pemuda tani dalam melakukan transformasi pertanian tersebut. Gagasan Popular Peasant Feminism yang menggema pada pertemuan pemuda tani internasional di Banten yang juga menjadi pijakan Gerakan Petani Perempuan  La Via Campesina perlu diterapkan dalam mewujudkan agroekologi di Indonesia.